Tahun 2012 ini adalah tahun ke empat dimana Indonesia berpartisipasi event Earth Hour dengan tema: "Ini Aksiku Mana Aksimu".
Untuk di Jakarta, terdapat lima ikon yang mematikan lampunya sebagai dukungan kampanye Earth Hour. Lima ikon Jakarta itu yakni gedung balaikota Provinsi DKI Jakarta, Monas dan air mancurnya, air mancur patung Arjuna Wijaya di depan Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif, air mancur Bundaran Hotel Indonesia, dan Patung Pemuda di kawasan Senayan. Gubernur DKI Jakarta, Foke, menyatakan kampanye Earth Hour merupakan upaya untuk mengubah perilaku masyarakat lebih menghemat energi. Yang tadinya 7 kota, tahun ini bertambah menjadi 26 kota di seluruh Indonesia.
Dukungan juga dilakukan oleh salah satu mall di kawasan Jakarta Barat dengan mengadakan Flash Mob sebagai penyambutan terhadap kampanye Global EARTH HOUR CAMPAIGN 60+. Dengan sosialisasi seperti ini diharapkan gaya hidup masyarakat yang modern dapat disesuaikan dengan gaya hidup ramah lingkungan. Flash Mob yang dipimpin oleh Irwin Jackson (presiden komunitas Michael Jackson Indonesia) dengan lagu yang berjudul "Earth Song" ini mempunyai tujuan yaitu agar masyarakat menghentikan pengrusakan bumi dan bahwa memperbaiki bumi bukanlah tugas pemerintah, organisasi, atau kelompok tertentu, melainkan kita sendiri.
Dan tahun ini pula, Go Green Indonesia mendapatkan kesempatan untuk diwawancara oleh Koran Jakarta (31/03/12) mengenai Earth Hour. Hal kecil yang sampai sekarang ini kami bisa lakukan adalah terus mengajak keluarga, teman-teman, dan keluarga untuk berpartisipasi dalam event Earth Hour.
"Seharusnya Earth Hour ini sudah menjadi lifestyle, tidak hanyak satu jam dalam setahun. Masyarakat yang mengetahui seharusnya lebih peduli lagi. Ditambah lagi sudah banyak perusahaan-perusahaan yang mengambil tema go green dalam produknya. Sehingga secara sadar atau tidak, masyarakat sudah tau adanya kampanye global warming ini. Jangan berhenti dengan gerakan yang sudah ada, karena dengan banyaknya komunitas go green seperti ini otomatis akan memberi motivasi kepada orang lain untuk bersama-sama menjaga bumi". -Go Green Indonesia.
Koran Jakarta, 31/03/12
-
14 Januari 2012
Membakar sampah, baik kah?
Urusan kita dengan sampah tidak berhenti saat kita membuang sampah saja.
Membuang sampah di tempatnya memang baik, tetapi masih ada hal-hal yang
kita perlu perhatikan setelah membuang sampah.
Beberapa dari kita memilih untuk membakar sampah yang telah terkumpul. Apakah pilihan untuk membakar sampah merupakan pilihan yang baik? Ternyata membakar sampah malah menimbulkan masalah baru lagi, khususnya bagi kesehatan kita.
Saat membakar sampah dalam tumpukan, tidak terjadi proses pembakaran yang baik. Pembakaran yang baik adalah dengan membutuhkan Oksigen (O2) yang cukup. Berbeda saat membakar tumpukan sampah, mungkin bagian luar tumpukan cukup mendapatkan Oksigen sehingga menghasilkan CO2, tapi di dalam tumpukkan sampah akan kekurangan O2 sehingga yang dihasilkan adalah gas Karbon Monoksida (CO).
Lalu kenapa dengan gas Karbon Monoksida?
Gas Karbon Monoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya, karena dapat membunuh kita secara massal. Bila kita menghirup gas CO, hemoglobin darah yang seharusnya mengangkat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Dengan begitu, tubuh akan mengalami kekurangan Oksigen, yang dapat berujung kematian.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya, lho. Masalah juga muncul dari sampah organik, yang dapat mengakibatkan partikel-partikel yang tak terbakar akan berterbangan, atau menghasilkan reaksi yang menghasilkan hidrokarbon berbahaya. Hidrokarbon berbahaya yang dihasilkan asap pembakaran sampah, termasuk senyawa penyebab kanker yaitu benzopirena, nyatanya mencapai 350 kali lebih besar dari asap rokok. Semakin jauh, kita bisa terjangkit kanker paru-paru, infeksi paru-paru, asma, atau bronkitis.
Belum lagi dengan gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, yang juga dapat merusak atmosfer bumi. Gas tersebut adalah senyawa chlor, yang dihasilkan dari pembakaran plastik. Pembakaran bahan sintetis yang mengandung nitrogen, seperti nilon, busa poliuretan yang ada pada sofa atau karpet busa, juga membahayakan karena dapat menghasilkan gas HCN yang berbahaya.
Membuang sampah di tempatnya memang belum cukup. Proses dalam menghancurkan sampah nyatanya masih jauh lebih ribet lagi. Sehingga pada dasarnya, kita pun perlu mengurangi sampah, terutama sampah-sampah yang susah mengurai. Mengurangi konsumsi, memaksimalkan produk yang bisa digunakan berkali-kali daripada yang sekali pakai.
Be smart, be green.
Beberapa dari kita memilih untuk membakar sampah yang telah terkumpul. Apakah pilihan untuk membakar sampah merupakan pilihan yang baik? Ternyata membakar sampah malah menimbulkan masalah baru lagi, khususnya bagi kesehatan kita.
Saat membakar sampah dalam tumpukan, tidak terjadi proses pembakaran yang baik. Pembakaran yang baik adalah dengan membutuhkan Oksigen (O2) yang cukup. Berbeda saat membakar tumpukan sampah, mungkin bagian luar tumpukan cukup mendapatkan Oksigen sehingga menghasilkan CO2, tapi di dalam tumpukkan sampah akan kekurangan O2 sehingga yang dihasilkan adalah gas Karbon Monoksida (CO).
Lalu kenapa dengan gas Karbon Monoksida?
Gas Karbon Monoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya, karena dapat membunuh kita secara massal. Bila kita menghirup gas CO, hemoglobin darah yang seharusnya mengangkat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Dengan begitu, tubuh akan mengalami kekurangan Oksigen, yang dapat berujung kematian.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya, lho. Masalah juga muncul dari sampah organik, yang dapat mengakibatkan partikel-partikel yang tak terbakar akan berterbangan, atau menghasilkan reaksi yang menghasilkan hidrokarbon berbahaya. Hidrokarbon berbahaya yang dihasilkan asap pembakaran sampah, termasuk senyawa penyebab kanker yaitu benzopirena, nyatanya mencapai 350 kali lebih besar dari asap rokok. Semakin jauh, kita bisa terjangkit kanker paru-paru, infeksi paru-paru, asma, atau bronkitis.
Belum lagi dengan gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, yang juga dapat merusak atmosfer bumi. Gas tersebut adalah senyawa chlor, yang dihasilkan dari pembakaran plastik. Pembakaran bahan sintetis yang mengandung nitrogen, seperti nilon, busa poliuretan yang ada pada sofa atau karpet busa, juga membahayakan karena dapat menghasilkan gas HCN yang berbahaya.
Membuang sampah di tempatnya memang belum cukup. Proses dalam menghancurkan sampah nyatanya masih jauh lebih ribet lagi. Sehingga pada dasarnya, kita pun perlu mengurangi sampah, terutama sampah-sampah yang susah mengurai. Mengurangi konsumsi, memaksimalkan produk yang bisa digunakan berkali-kali daripada yang sekali pakai.
Be smart, be green.
17 Desember 2011
Hutan Wehea Terancam
Hutan Wehea seluas 38.000 hektar di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur, yang menjadi habitat bagi orangutan dan menyimpan kekayaan flora
fauna terancam keselamatannya. Alasannya, kawasan itu masih berstatus
hutan produksi sehingga berpotensi dirambah.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.
03 Desember 2011
Hapsoro, Guru "Pemulung" dari Sungai Ciliwung
Hapsoro, gambar diambil dari sini
Sebagai aktivis lingkungan, Hapsoro
banyak mengadvokasi persoalan pembalakan liar di Pulau Kalimantan. Ia
masuk-keluar hutan dan berkampanye demi penyelamatan hutan. Namun,
ketika melepas semua itu dan hanya memaknai diri sebagai orang Bogor,
Hapsoro memilih menjadi "pemulung" di Sungai Ciliwung.
Bukan sembarang "pemulung", sejak
2009 Hapsoro bersama rekan-rekannya menggulirkan Komunitas Peduli
Ciliwung Bogor. Rutin sekali dalam sepekan mereka memulung sampah di
tepian Sungai Ciliwung. Mereka punya 11 titik favorit yang terbanyak
sampahnya di sepenggal Sungai Ciliwung di Kota Bogor, mulai Katulampa
hingga Cilebut.
Pesertanya masyarakat awam, dari
karyawan kantor, guru, hingga pelajar. Mereka menyebarkan informasi
titik memulung melalui pesan singkat berantai yang dimulai oleh Hapsoro.
Maklum komunitas ini tida mengikat keanggotaan, siapa saja boleh datang
dan pergi.
Kegiatan itu murni swadaya Hapsoro
dan rekan-rekan tanpa dukungan lembaga tertentu. Hapsoro yang kerap
"berjuang" untuk pelestarian lingkungan di luar Bogor merasa perlu
berbuat sesuatu bagi Bogor, tempat tinggalnya. Persoalan lingkungan yang
menonjol di Bogor adalah Sungai Ciliwung yang kerap dijadikan "tempat
sampah". "Sekali memulung, sampah yang terkumpul bisa sampai satu mobil
bak terbuka. Awalnya kami urunan menyewa mobil Rp100.000, tetapi
belakangan Pemerintah Kota Bogor membantu menyediakan mobil sampah.
Mungkin mereka malu", tuturnya.
Setiap Sabtu
Acara
memulung bersama itu dilaksanakan setiap Sabtu. Bergantian dengan dua
kegiatan lain, yakni menyusuri tepi Ciliwung dan memulung benih pohon
beringin serta pekan berikutnya menanam benih yang dikumpulkan dari
hutan sekitar Kecamatan Dramaga di tepian Sungai Ciliwung.
Harapannya, pohon beringin yang
berakar kuat itu bisa membantu menyerap air hujan agar tidak erosi,
sekaligus memperkuat daerah sempadan sungai agar tak mudah longsor.
Selama dua tahun terakhir sudah ratusan pohon mereka tanam di bantaran
Ciliwung.
Sekali dalam setahun mereka
menggelar lomba memulung per kelurahan di sepanjang bantaran Sungai
Ciliwung dan tahun ini akan menginjak tahun ketiga. Masyarakat berlomba
berupaya menjadi yang terbanyak mengumpulkan sampah rumah tangga di
Sungai Ciliwung. Juara pertama loba mendapat hadiah Rp5 juta. Uang
"pembinaan" bagi pemenang merupakan sisa hasil penjualan sampah plastik
dari kegiatan memulung rutin setiap pekan dan donasi perorangan.
Hampir tiga tahun memulung, tentu
ada suka dan duka yang dirasakan Hapsoro dan teman-teman. Hal tersering
yang mereka alami adalah kaki luka kena pecahan kaca atau paku saat
memburu sampah di Ciliwung. Yang membuat mereka sampai mengelus dada,
ketika sedang memungut sampah, tiba-tiba orang yang tinggal di bantaran
sungai tanpa melihat kegiatan itu dengan entengnya membuang sampah ke
sungai. Tak jarang sampah tersebut bahkan mengenai kepala mereka. Duh...
Minus kepedulian
Jumlah
peserta atau sukarelawan yang terlibat dalam kegiatan memulung itu tak
tentu. Pernah hanya bisa dihitung dengan jari, kadang belasan, pernah
pula sampai 80 orang. Dia mengaku sengaja mengajak mereka memulung
sampah agar menjadi lebih peduli terhadap Ciliwung.
Ciliwung kerap menjadi persoalan
saat banjir melanda Jakarta. Daerah hulu Bogor akan dipersalahkan oleh
orang-orang di hilir, seperti Jakarta. Kerusakan Ciliwung sudah
terbilang parah, dengan sampah di mana-mana, airnya keruh,, terutama di
daerah tengah dan hilir sungai.
Masyarakat membuang sampah karena
masih merasa Ciliwung sebagai tempat sampah yang efisien. Orang tinggal
melemparnya, lalu sampah hanyut, untuk kemudian menumpuk atau tersangkut
di daerah lain. Padahal masyarakat juga memerlukan Ciliwung. Mereka
memanfaatkan air dari Sungai Ciliwung untuk kebutuhan sehari-hari. Pada
masa lalu, Ciliwung dekat dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Leonard Blussem sejarahwan Belanda, dalam buku Persekutuan Aneh
mencatat, Batavia (Jakarta) pernah dikenal sebagai kota yang indah dan
bersih pada 100 tahun pertama usianya. Namun sejarahwan mencatat pula,
akibat erupsi Gunung Salak, sanitasi kota sama sekali tidak baik karena
aliran Sungai Ciliwung tersumbat dan air tercemar. Kini, bukan erupsi
Gunung Salak yang menyumbat dan mengotori Sungai Ciliwung, melainkan
orang-orang yang tinggal di sekitar sungai itu.
"Kegiatan memulung ini juga untuk
kembali mengingatkan mereka agar peduli terhadap Ciliwung,. Kami
sebetulnya lebih berharap muncul kesadaran masyarakat", katanya. Adakah
hasilnya? Bagi Hapsoro, apa yang dia dan rekan-rekannya lakukan hanya
setitik upaya untuk menjaga Ciliwung. Dimulai dari membangkitkan
kepedulian masyarakat terhadap Ciliwung.
Setidaknya, menurut Hapsoro, kini
orang-orang mulai memiliki rasa malu untuk membuang sampah sembarangan
di sungai ketika mereka "bekerja" mengurangi sampah. Untuk mendorong
agar kegiatan ini menjadi gerakan moral warga, seperti harapan Hapsoro,
masih jauh dari kenyataan. Namun, bukankah untuk memulai sebuah
perjalanan perlu satu langkah kecil? Bagi Hapsoro dan teman-teman,
langah kecil itu dimaknai dengan memulung sampah di Sungai Cilwung...
oleh: FX PUNIMAN. Wartawam, tinggal di Bogor.
Artikel diambil dari: KOMPAS.
02 Juli 2011
Penggundulan tak Terkendali, Habitat Rangkok Terancam Punah
Habitat Rangkong Indonesia terancam hilang akibat eksploitasi hutan yang membuat sumber pakannya menjadi berkurang.
"Kegiatan
penggundulan hutan tanpa tebang pilih membuat sumber pakan Rangkong
banyak yang rusak. Kondisi ini membuat rangkong semakin terjepit dan
mulai kehilangan habitatnya," kata Dwi Mulyawati Bird Conservation
Officer Burung Indonesia dalam siaran pers yang dikirim melalui pesan
elektroniknya, Sabtu.
Dwi
mengatakan, Rangkong merupakan hidupan liar yang sangat berjasa pada
regenerasi hutan. Tanpa Rangkong, diperkirakan hutan akan segera hancur
dan potensi yang terkandung didalamnya ikut tergusur.
Banyak
jenis pohon yang kelanjutan hidupnya bergantung pada hewan pemakan buah
dalam penyebaran bijinya. "Menurut para peneliti Rangkong dijuluki
sebagai petani hutan karena kehebatannya menebar biji," kata Dwi.
Lebih
lanjut, Dwi menjelaskan seekor Rangkong dapat terbang dalam radius 100
km persegi. Artinya, burung yang termasuk dalam keluarga Bucerotidae ini
dapat menebar biji hingga 100 km jauhnya.
Penelitian
yang dilakukan di kawasan hutan produksi menunjukkan, sumber pakan
Rangkong menyusut hingga 56 persen karena berkuranganya pohon pakan
sebanyak 76 persen.
Berdasarkan
data International Union for Conservation of Nature (IUCN), dari 13
jenis Rangkong yang ada di Indonesia, Julang Sumba (Aceros everetti)
merupakan jenis terancam punah yang masuk pada kategori rentan
(Vulnerable/VU).
Di
Indonesia, Rangkong disebut juga dengan Julang, Enggang, atau
Kangkareng "Jenis yang hanya dijumpa di Pulau Sumba ini diperkirakan
hanya tersisa kurang dari 4.000 ekor dengan kepadatan rata-rata enam
ekor per km persegi," ujar Dwi.
Dwi
menambahkan, Rangkong merupakan jenis burung yang melakukan kegiatan
tersebutt. Tanpa peran Rangkong, bisa dipastikan jenis pohon tertentu
akan lenyap karena induk pohon yang menua akan mati tanpa pengganti.
Buah Ara merupakan salah satu pakan favorit Rangkong yang tersedia hampir sepanjang tahun.
Diperkirakan,
ada 200 jenis pohon Ara yang menjadi pakan utama Rangkong. Dan bila
dibanding burung lainnya, Rangkong dianggap paling mampu dalam
menebarkan biji ara, karena daya jelajahnya yang tinggi.
"Menurut
Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O`Brien, peneliti Rangkong dan
hutan tropis, terdapat korelasi erat antara Rangkong dengan hutan yang
sehat," kata Dwi.
Burung
Rangkong termasuk dalam Famili Bucerotidae, kelompok burung berukuran
besar yang mudah dikenali, terutama dari cula (casque) pada pangkal
paruhnya. Di seluruh dunia terdapat 55 jenis yang tersebar di kawasan
tropis Asia dan Afrika.
Tercatat
ada 13 jenis Rangkong yang ada di Indonesia. Sembilan jenis di
Sumatera: Enggang Llihingan, Enggang Jambul, Julang Jambul-Hitam, Julang
Emas, Kangkareng hitam, Kangkareng Perut-Putih, Rangkong Badak,
Rangkong Gading, dan Rangkong Papan. Empat jenis lagi berada di Sumba
(Julang Sumba), Sulawesi (Julang dan Kangkareng Sulawesi), serta Papua
(Julang Papua). Kalimantan memiliki jenis Rangkong yang sama seperti
Sumatera, kecuali Rangkong Papan.
Burung
Indonesia adalah organisasi nirlaba dengan nama lengkap Perhimpunan
Pelestarian Burung Liar Indonesia (Birdlife Indonesia Association) yang
menjalin kemitraan dengan BirdLife International, yang berkedudukan di
Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar